Menjadi Murid yang Dikasihi

Lima hari setelah sidang gerejawi di wilayah itu, banjir melanda lagi. Hanya berselang satu bulan  terjadi dua kali banjir besar. Banjir sebelumnya akibat curah hujan dengan intensitas tinggi beberapa hari mengguyur penggunungan Kendeng Selatan. Banjir kedua juga akibat curah hujan dengan intensitas tinggi beberapa hari mengguyur pegunungan Kendeng Utara. Kota di mana saya tinggal adalah lembah di antara dua pegunungan itu, dengan sebuah sungai besar di pinggir kota.  Air sungai itu akan meluap membanjiri kota  jika tidak bisa menampung debit air akibat curah hujan yang tinggi.

Pada banjir kedua itu, saya juga terdampak. Yang menarik adalah beberapa saudara yang sempat menolong kami di tengah situasi banjir ada yang sedang mengalami konflik di gereja. Banjir bisa dipakai Allah untuk membangunkan dan memenuhi kebutuhan yang paling dalam yang ada di hati orang, yaitu kebutuhan untuk dicintai tanpa batas dan untuk menjadi kreatif serta berbela rasa dalam mencintai orang lain. Peristiwa konflik atau peristiwa bencana bisa menyatakan kita ini dipanggil untuk menjadi siapa? Apakah kita merasa haus mengaitkan berbagai peristiwa dalam hidup kita dengan mengidentifikasi diri sebagai murid yang dikasihi Yesus? Jika ini yang menjadi kerinduan kita, kesaksian dari Injil Yohanes bisa sangat membantu.

Injil Yohanes berbeda dibandingkan dengan Injil Matius, Markus, dan Lukas. Injil ini tidak menceritakan peristiwa-peristiwa dalam hidup Yesus seperti yang diceritakan dalam Injil lainnya. Injil ini tidak menyampaikan berbagai pesan-Nya dalam perumpamaan. Penulis Injil Yohanes, di bawah bimbingan Roh Kudus, memilih peristiwa-peristiwa dan tanda-tanda, atau mukjizat-mukjizat, tidak hanya untuk membantu kita percaya  bahwa Yesus adalah Anak Allah, dan Anak Manusia, tetapi juga untuk membawa semua murid Yesus masuk ke dalam  pengalaman bersatu dengan Allah. Pada akhir Injilnya, penulis mengatakan bahwa ia telah menulis semua itu: “supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena percaya , kamu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh. 20:31).

”Hidup dalam nama-Nya” adalah hidup Allah sendiri. Yesus datang untuk memberikan hidup ini melalui kelahiran baru dan pertumbuhan dalam Roh Kudus. Hidup ini adalah persahabatan dengan Yesus yang menbawa kita keluar dari sikap memusatkan perhatian pada diri sendiri, menuju sikap memusatkan perhatian pada Allah dan sesama, serta memasukkan kita ke dalam pengenalan baru akan Allah.

Penulis Injil Yohanes menyebut dirinya sebagai ”murid yang dikasihi” (lih. Yoh. 13:23, 19:26, 20:2, 21:7,  21:20). Ia tdak pernah menyebut dirinya dengan nama, dan ini penting. Ia berbicara mengenai dirinya dalam hubungan dengan Yesus, seolah-olah nilai dan jati dirinya mengalir dari hubungan ini. Dengan membubuhkan nama ”murid  yang dikasihi” dalam Injil, mungkin penulis ingin menyatakan bahwa kita masing-masing dapat mengidentifiaksi diri dengan dia dan menjadi “seorang yang dikasihi Yesus”.

Injil Yohanes menyajikan beberapa peristiwa mengenai hidup Yesus, meskipun setiap peristiwa membawa orang lebih jauh masuk ke dalam misteri yang dinyatakan secara simbolis.  Injil ini juga berbicara mengenai perkembangan iman dan kepercayaan semua pengikut Yesus di sepanjang masa, langkah-langkah dan krisis yang harus kita lewati untuk menjad murid-murid yang dikasihi.

Injil Yohanes mendapat bentuknya sampai sekitar enam puluh tahun sesudah kematian dan kebangkitan Yesus. Mengapa Injil ini begitu berbeda dibandingkan dengan ketika Injil yang lain, yang tentunya dikenal oleh penulis? Mengacu pendapat Jean Vanier, pada akhir abad pertama ada keperluan khusus untuk memperkenalkan dengan lebih baik unsur mistik dalam Injil ini, yang dihayati dan diwartakan secara khusus dalam komunitas yang dipimpin oleh Yohanes. Unsur  mistik itu adalah  panggilan Yesus bagi murid-murid-Nya, untuk menjadi satu dengan diri-Nya dan untuk hidup dengan Dia sebagai sahabat yang dikasihi.

Tampaknya Injil Yohanes  ditulis untuk menjawab kebutuhan ketika pesan Yesus mulai menyebar ke Asia Kecil, Yunani, dan bagian-bagian dunia yang lain. Jumlah pengikut Yesus menjadi semakin banyak. Tata susunan gereja mulai diatur dan teologi mengenai gereja mulai berkembang. Ketika kelompok menjadi semakin  besar  potensi munculnya salah paham dan konflik juga makin besar. Peraturan menjadi perlu, struktur menjadi lebih penting dan mengalahkan roh. Hal-hal yang spiritual  dan mistik cenderung mundur ke belakang.

Sementara itu, pada akhir abad pertama, suatu ajaran baru mengenai Kristus, disebarkan di Asia Kecil. Ajaran itu menyatakan bahwa Kristus bukan sungguh-sungguh manusia, bahwa tubuh-Nya tidak penting. Dalam tiga surat yang ditujukan kepada para muridnya Yohanes berjuang melawan ajaran ini. Bagian beberapa ajaran ini menjadi dasar hidup mistik palsu, yang terpisah dari realitas hidup manusia, dari tubuh manusia.

Injil Yohanes mengajarkan bahwa tubuh Yesus, pribadi-Nya yang menjadi daging, adalah sumber hidup mistik dan pengetahuan  baru mengenai Allah. Hidup ini bukanlah pelarian dari dunia derita  dan kebendaan melainkan perutusan masuk ke dalamnya, untuk mencintai manusia sebagaimana Yesus mencintai mereka.

Lalu apakah pesan penting Injil Yohanes untuk kepemimpinan kristiani? Injil ini ditutup dengan pertanyaan Yesus sebelum mengangkat Petrus menjadi gembala. ”Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Ia bertanya lagi, “Apakah engkau mengasihi Aku?” dan mengajukan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya. Kita perlu memahami pertanyaan itu sebagai inti dari seluruh pelayanan kristiani kita. Sebab, pertanyaan ini justru dapat membuat kita tidak relevan sekaligus sungguh percaya diri.

Dunia tidak memberi perhatian kepada Yesus. Ia disalibkan dan tersingkir. Presan kasih yang Ia wartakan ditolak oleh dunia yang memuja kekuasaan, efisiensi, dan memegang kendali. Yesus yang ditolak, tak dikenal dan terluka ini setelah bangkit hanya bertanya, ”Apakah engkau mengasihi Aku, apakah engkau sungguh mengasihi Aku?” Yesus yang keprihatinan satu-satunya adalah mewartakan kasih Allah yang tanpa syarat, hanya mempunyai satu peryanyaan, ”Apakah engaku mengasihi Aku?”

Dengan kata lain, pertanyaan itu dapat dikemukakan: Apakah engkau mengenal Allah yang telah menjelma menjadi manusia? Dalam dunia kita yang ditandai kesepian dan keputusasaan, sangatlan dibutuhkan orang-orang yang mengenal hati Allah, hati yang mengampuni, yang memperhatikan, yang mengundang orang untuk datang dan menyembuhkan. Dalam hati itu tidak ada kecurigaan, pembalasan, dendam atau sedikit pun rasa benci. Hati Allah adalah hati yang hanya mau memberikan kasih dan menerima kasih sebagai balasannya. Hati itu sangat menderita karena melihat betapa hebat penderitaan manusia dan daya tolaknya untuk mempercayakan diri kepada Allah yang mau menawarkan penghiburan dan harapan.

Yesus tidak hanya melibatkan diri untuk menyembuhkan orang dan menjalankan keadilan. Ia menawarkan kasih, kepercayaan, dan persahabatan-Nya kepada setiap orang. Ia menyatakan kepada setiap orang, betapa indah dan bernilainya mereka dan betapa mereka dicintai Allah. Apalagi yang terpanggil sebagai murid-muid-Nya, menjadi keniscayaan untuk meyakini sebagai yang dikasihi-Nya. Ini juga kebutuhan yang paling dalam yang ada di hati orang.

Sumber: Tangan Terbuka Media

0:00
0:00