Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Tadi siang aku pertama kalinya pergi ke Warung Bu Pe. Aku baru tahu letak warung ini dari seorang warga Majelis yang kukunjungi, padahal katanya ini warung makan terkenal. Dan ternyata sangat mudah mencarinya, sekalipun harus masuk gang, akan tetapi ada tulisan penanda arah warung yang terletak di gang sebelah timur RSUD Wonogiri. Masuk 50 meter gang sempit yang hanya cukup 1 mobil, di pojok kanan ada tempat parkir motor yang sangat leluasa. Tidak ada tanda-tanda warung makan. Jadilah aku malah salah masuk lewat kiri, nembus ke dapur belakang. Ternyata meja dan kursi makan memang ada di dalam rumah, sama sekali tidak berbentuk warung.
Tadi kuhitung sayur dan masakan Jawa ada lebih dari 10 macam, dari tempe lombok, opor, oseng, tumpang, asem-asem, sup, jangan bening, lodeh terong, pecel, urap, sambel goreng, bakmi goreng…. Nah, sudah lebih dari sepuluh macam kan. Ada dua lepek sambel yang tampak segar baru dibuat, sambel bawang dan sambel tomat trasi. Belum lagi lauk-pauk yang jumahnya juga tidak kalah dengan macam sayur yang ada. Semuanya disediakan dengan sistem prasmanan, silakan ambil sendiri mulai dari nasi, sayur, dan lauk. Warung Bu Pe ini milik warga gereja, dan selama aku melaksanakan live-in tukar pelayanan pendeta, warung ini yang bertanggung jawab untuk makananku sehari-hari selama live in. Sejak hari pertama sudah ditanya, “Dibungkuskan, atau akan datang makan di warung?” Tentu saja aku memilih datang sendiri ke warung, lebih banyak pilihan.
Aku sudah mengatakan, tidak biasa sarapan pagi, waktu sarapanku, atau buka puasa (break-fast) dari semalam sebelum tidur sampai bangun tidur sengaja kuundur di jam 11-12.00 siang. Selama live ini sudah dua sore ini aku dijamu makan di rumah warga. Ayam goreng kremes lalapan sayur dan sambel bawang, sup ayam, wedang jahe, mendoan panas. Di hari kedua dijamu selat galantin dan ayam goreng lagi tetapi beda versi bumbunya. Sedangkan untuk makan siang sudah disiapkan di Warung Bu Pe yang kuceritakan di atas.
Perlu juga kuceritakan, setiap pagi koster gereja ternyata sudah ditugasi membelikan snack untukku, dua hari berturut-turut ini dibelikan 6 kue macam-macam, sepiring penuh. Lha, siapa yang akan memakannya? Sudah kuminta cukup 2 kue saja sehari, eh hari kedua tetap, katanya disuruh seperti itu. Jadilah kue kubawa ke dapur, mangga dinikmati bersama, saya cukup 2 potong kue saja.
Keramahtamahan khas tuan rumah memang selalu menyajikan dan menawarkan makan. Di jemaat GKJ Purwantoro, aku lebih biasa bila memang ingin makan langsung masuk ke dapur dan bertanya, “Masak apa hari ini?” Dan bila aku tidak ingin makan, sudah sebelas tahun lebih jemaat memaklumi. “Begini, kalau saya bisa lebih kurus dari sekarang, paksalah untuk makan. Akan tetapi kalau tetap gemuk, iya biarlah bebas mau makan atau tidak makan!” Gitu saja kok repot. Dan sengaja kuwartakan, aku mengurangi konsumsi karbohidrat, tidak minum manis, mengurangi makanan yang digoreng, dan memperbanyak makan sayur. Makan dua kali sehari, dan pola makan seperti ini, kenapa tetap gemuk?
Tadi dengar cerita beberapa warga, setelah mendengar cerita tentang pola makanku, “Wah, pendeta saya lain pola makannya”. Tiap orang memang punya pola hidup, di dalamnya juga pola makan yang ber beda-beda. Tak ada yang salah. Namun makan itu untuk hidup, supaya sehat, dan kuat mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Jangan karena sakit keras berkepanjangan baru belajar dan mengubah ke pola makan yang sehat. Aku senang masak, kegembiraan hidupku sebagian kurayakan saat belanja bahan dan masak. Satu paket dengan senang masak tentu saja senang makan. Akan tetapi karena sadar badanku sudah membesar dan gemuk, aku belajar mengendalikan diri, untuk tidak dikuasai nafsu makan sehari-hari.
Selain para pendeta yang harus belajar pola makan yang sehat. Kiranya jemaat juga perlu mendukung dengan memberikan banyak permakluman bila pendeta mengurangi konsumi dan bahkan menolak suguhan yang disajikan.
Penulis: Pdt. Yahya Tirta P.