Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
”Sesungguhnya, inilah Allah kita. Kita menanti-nantikan Dia, dan Ia telah menyelamatkan kita. supaya kita diselamatkan. Inilah TUHAN yang kita nanti-nantikan; marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita atas pertolongan-Nya!” (Yes. 25:9).
Demikianlah nubuat Yesaya. Nubuat itu memang belum terjadi. Karena masih akan. Namun, sejatinya, nubuat ini bukan tanpa dasar. Nubuat ini berdasarkan kisah-kisah sebelumnya—ketika Allah menyelamatkan Israel dari perbudakan di Mesir. Itulah yang dinyatakan dengan sangat jelas dalam Mazmur 114.
Dasar Nubuat
Dalam bait terakhir Mazmur 114—bisa dipahami sebagai kesimpulan—pemazmur menulis: ”Gemetarlah, hai bumi, di hadapan TUHAN, di hadapan Allah Yakub, yang mengubah gunung batu menjadi kolam air, dan batu yang keras menjadi mata air!”
Mengapa gemetar? Sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah. Dalam perjalanan Israel dari Mesir ke Kanaan, Allah mencukupkan kebutuhan umat pilihan-Nya akan air dengan mengeluarkan air dari bebatuan. Dan kisah pembebasan Israel dari Mesir memang sarat dengan mukjizat.
Mulai dari sepuluh tulah yang menimpa rakyat Mesir, Laut Teberau terbelah, pemberian air, manna, dan burung puyuh, kemenangan terhadap bangsa-bangsa lain, hingga sungai Yordan yang berhenti mengalir.
Namun demikian, mukjizat terbesar adalah pemilihan Allah atas Israel. Jika diperhatikan dengan cermat, pemilihan Israel itu merupakan mukjizat. Allah memilih sebuah bangsa yang sejatinya tak layak dipilih dan diperjuangkan. Israel bukanlah tipe bangsa setia. Kepercayaan mereka kepada Allah naik turun bak roller coaster. Ya, semuanya memang hanya anugerah. Sola Gratia.
Inilah Allah kita
Oleh karena itu, Yesaya menegaskan: ”Sesungguhnya, inilah Allah kita. Inilah TUHAN yang kita nanti-nantikan!” Dan itulah yang sungguh terlihat dalam kisah dua orang murid yang berjalan menuju Emaus. Berkait dengan kisah Emaus, buah pikir dan buah pena Henri Nouwen layak dikemukakan di sini.
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi yang siap menemani dalam perjalanan hidup kita. Saudara dan saya tidak dibiarkan-Nya berjalan sendirian. Ia menemani kita dalam suka, apalagi duka. Ia juga menemani kita dalam kebingungan, ketidaktahuan, juga ketidakmengertian.
Perhatikan kisah Emaus! Kleopas dan temannya merasa tidak ada lagi gunanya tinggal di Yerusalem. Harapan mereka musnah. Sang Guru sudah mati. Dalam keputusasaan mereka pulang ke rumah. Jalan yang ditempuh bukan jalan pengharapan. Jalan itu suram. Wajah mereka pun muram. Mereka merasa hidup tiada artinya lagi.
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi yang siap mendengarkan kisah sedih kita. Perhatikan kisah Emaus. Allah tidak sekadar menemani, tetapi juga mendengarkan kisah sedih mereka. Ia menyertai mereka dengan cara yang amat pribadi dan bersahabat. Ia mulai dengan bertanya. Dan mendengarkan semua curhatan itu dengan saksama.
Bisa jadi—kadang seperti kedua orang murid itu—kita tidak terlalu mengenal-Nya. Namun, itu bukan soal. Selama kita tidak menolak-Nya untuk bergabung dengan kita dan mendengarkan curhatan kita. Ya, membiarkan Ia bergabung bersama kita sebenarnya merupakan langkah logis.
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi yang tidak sekadar menderita, tetapi mati. Sering kita berpikir bahwa kematian Yesus disusul dengan kebangkitan-Nya. Namun, Injil tidak mengatakan seperti itu. Injil bicara soal jazad yang mati dan membusuk. Ia sendiri sungguh merasakan apa artinya musnah.
Oleh karena itu, ia sangat mengerti apa yang dirasakan kedua murid itu. Atas dasar pengalaman sendiri, Ia mengerti apa artinya putus asa, apa artinya makam, apa artinya fana, apa artinya dapat mati.
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi yang memberikan pandangan baru. Ia tidak menyatakan bahwa kematian dan kehancuran itu tidak nyata. Dalam kata-kata-Nya Yesus menyatakan bahwa kematian dan kehancuran itu sungguh penting. Ia menyatakan bahwa bagi Guru mereka kematian dan kehancuran menjadi jalan pembebasan. Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya? Kematian-Nya adalah awal kemuliaan-Nya.
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi yang membuat hati kita berkobar-kobar. Hati mereka serasa hangat. Muncul api yang menghangatkan hati mereka. Pelita yang hampir pudar nyalanya itu kembali berkobar-kobar.
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi yang bersedia diundang oleh semua orang yang membutuhkan-Nya. Perhatikan undangan mereka: ”Tinggal sertaku, Kawanku kudus; t’lah hampir malam, jangan jalan t’rus. Tiada tolongan, hanya pada-Mu. Silahkan Tuhan, tinggal sertaku” (Nyanyian Rohani 111:1).
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi yang ingin dikenali. Yesus dikenal kala memecahkan roti. Dan ketika kedua murid itu mengenali Yesus, kehadiran fisik-Nya tak diperlukan lagi. Ia telah begitu dekat dengan mereka sehingga mereka tidak lagi membutuhkan kehadiran jasmani-Nya. Ya, Yesus membuat kedua orang itu menjadi pribadi yang berbeda.
Siapakah Allah kita? Ia adalah Pribadi….
Penulis: Yoel M. Indrasmoro
Sumber: Tangan Terbuka Media