Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Ketika Yesus dibaptis, ada suara yang berkata kepada-Nya, ”Engkaulah yang terkasih, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mrk. 1:11). Suara inilah yang harus kita dengar juga karena Yesus datang untuk memberi tahu kita bahwa kita sama dikasihi-Nya seperti Dia. Kita harus menjadi pendengar yang baik untuk mendengarkan suara yang memanggil kita sebagai yang terkasih. Itulah tantangan terbesar kita. Untuk itu diperlukan disiplin sebagai yang terkasih.
Nouwen menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan disiplin yang terkasih adalah usaha manusia untuk menciptakan sebuah ruang terbuka agar dapat mendengarkan suara kasih yang berbicara kepadanya. Dunia di mana kita hidup ingin mengisi semua ruang agar kita sibuk atau asyik dengan diri sendiri, sekaligus membuat kita khawatir. Disiplin yang terkasih menjaga suatu tempat tetap terbuka, sebuah tempat kosong di mana Allah dengan menyebut nama kita masing-masing dapat berkata, ”Maria, Yohanes,… tidakkah engkau tahu bahwa Aku mengasihimu? Tenanglah, agar Aku bisa menyentuhmu, memelukmu dan bersama denganmu.”
Apa saja disiplin yang terkasih itu? Kisah sebuah bukit berikut ini menyediakan inspirasi untuk mengenali displin yang terkasih. Yesus naik ke bukit itu dan menghabiskan semalam-malaman dalam kesatuan dengan Allah. Dia mendengarkan suara yang memanggil-Nya sebagai yang terkasih. Keesokan harinya, Yesus turun dari bukit dan memanggil murid-murid-Nya dan membentuk sebuah komunitas 12 rasul. Ia memanggil mereka dengan nama masing-masing. ”Petrus, Andreas, Yakobus, Yohanes,…. engkaulah sahabat-Ku dengan siapa Aku yang terkasih membentuk sebuah komunitas.” Setelah turun di tempat yang datar di mana banyak orang berkumpul, Yesus berbicara dengan kata-kata yang menyembuhkan, menyentuh orang-orang, memberi perhatian kepada mereka yang miskin, dan ini disebut pelayanan (bdk. Lukas 6:12-19). Persatuan, komunitas dan pelayanan adalah tiga disiplin untuk menemukan suara yang memanggil kita sebagai yang terkasih.
Disiplin pertama adalah persatuan (communion). Pernahkan kita menghabiskan waktu 10 menit tanpa melakukan apa-apa? Itu tidak mudah. Kita tidak mendengarkan radio, tidak menonton televisi, tidak menggunakan handphone, tidak membaca buku. Kita hanya duduk di kursi saja dan tidak melakukan apa-apa.
Sebelum kita menjadi tenang dan menyadari sedang duduk di kursi, kita merasa pikiran kita sudah seperti pohon pisang penuh dengan monyet yang berloncatan. Ada dorongan: Aku harus melakukan ini, aku harus melakukan itu, aku harus menulis sesuatu, aku seharusnya tidak melakukannya, dan lain-lain. Akhirnya kita sibuk dengan monyet-monyet di dalam pikiran kita.
Bayangkan Yesus berkata, ”Tetaplah tinggal di sana. Karena di bawah suara-suara liar itu ada suara halus lembut yang mengatakan engkaulah yang terkasih.” Kita dipanggil untuk mendengarkan suara lembut itu. Usahakan untuk meluangkan waktu setiap hari untuk mendengarkan Dia yang sangat merindukan perhatian kita, supaya kita dapat mendengar siapa diri kita sebenarnya. Kita perlu meluangkan waktu untuk berdua saja bersama Allah, supaya kita dapat mendengar suara tersebut. Inilah arti doa, yakni mendengarkan suara yang memanggil kita sebagai yang terkasih.
Disiplin kedua adalah komunitas. Komunitas itu penting bagi kita untuk mendengar suara Allah. Kita harus mendengarkannya bersama dalam komunitas. Kita dapat menciptakan komunitas ketika kita benar-benar merasa dikasihi. Ketika orang-orang merasa sebagai yang dikasihi, mereka dapat mulai membentuk sebuah komunitas.
Komunitas tidak dibangun untuk tujuan mengisi perasaan kosong seseorang yang meminta orang lain agar mencintainya. Hal itu akan menjebak dalam perasaan kesepian: ”Aku kok masih kesepian, dan kamu bukan orang seperti yang aku harapkan, karena ada hal yang tidak kamu mengerti. Mungkin sebaiknya kita agak menjauh sejenak, mungkin nanti kita sebaiknya mencoba mendekat lagi.”
Menjauh sejenak, mencoba mendekat lagi, ini yang kita sebut gesekan. Ketika relasi dalam komunitas dibangun dari kebutuhan untuk menyelesaikan konflik batin, relasi tersebut menjadi sangat posesif, yaitu sifat merasa menjadi pemilik dan ingin mengatur secara berlebihan. Tanpa kita sadari, relasi yang semula kita inginkan menjadi pernyataan kasih justru menjadi ekspresi kekerasan dan posesif.
Ketika kita sungguh-sungguh percaya bahwa kita berada dalam persatuan dengan Allah, ketika kita benar-benar mendengar suara yang memanggil kita sebagai yang terkasih, kita bisa sendirian tetapi tidak kesepian, dan kita dapat bergandengan bersama. Masing-masing pribadi mengenal suara kasih dan bersama membentuk sebuah rumah kasih. Kasih yang telah berbicara di dalam diri kita, membuat kita mengenal suara kasih yang juga berbicara di dalam diri orang lain dan kita dapat saling mengasihi dan bersahabat erat. Namun, kita juga tetap memiliki ruang terbuka dan masing-masing memberi ruang dan menciptakan ruang untuk kehidupan baru yang terlahir. Persahabatan baru dapat bertumbuh, dan tamu disambut dengan ramah. Inilah yang disebut komunitas.
Ada ungkapan: ”Komunitas adalah tempat di mana orang yang paling tidak ingin kamu hidup bersama selalu ada.” Ini benar! Komunitas bukanlah romantisme. Yesus memanggil komunitas para rasul dan kemudian tiba-tiba satu orang mengkhianati-Nya. Kita dapat hidup dalam sebuah komunitas jika dengan cara yang mendalam hati kita berakar pada Allah. Karena itu, kemudian kita dapat hidup bersama bahkan dengan orang-orang yang keras pada kita. Mereka bahkan menjadi orang-orang yang memurnikan hati kita dan memperdalam kasih kita. Jika kita berani mendengarkan suara kasih dalam komunitas, maka kita akan segera menemukan bahwa kita diutus untuk melayani.
Oleh karena itu, disiplin yang ketiga adalah melayani. Komunitas bukanlah rumah kecil yang aman di mana kita dapat bersembunyi dari dunia. Yesus mengumpulkan komunitas untuk diutus ke dunia dan mewartakan kabar baik. Kita dipanggil mengunjungi orang miskin, orang sakit, orang yang hampir mati, anak-anak. Suara terakhir yang memanggil kita yang terkasih datang dari mereka yang kita peduli.
Ingat sabda di bukit: ”Berbahagialah, hai Kamu yang miskin…” (Luk. 6:20). Yesus tidak berkata, ”Berbahagialah orang yang peduli orang miskin.” Berkat itu ada pada mereka yang miskin, dalam orang-orang yang kita bantu. Kita akan menemukan bahwa mereka membawa berkat di dalam hati mereka untuk kita, supaya kita dapat hidup. Mereka memberi rasa akan kehadiran Allah. Ada wajah Allah yang berbelas kasih pada orang miskin.
Kita bisa mengenali orang-orang miskin itu bukan hanya yang miskin harta benda. Mereka mungkin memiliki banyak uang, tetapi mereka tetap miskin—miskin kasih sayang, miskin perhatian, tidak punya sahabat, dan masih banyak lagi. Kita tidak hanya dipanggil untuk bersatu dan berkomunitas, tetapi dipanggil keluar dan melayani. Dan, untuk memercayai bahwa mereka yang kita layani akan menuntun kita lebih dekat lagi pada kasih, pada hati Allah.
Begitu kita masuk dalam kesatuan yang mendalam dengan orang-orang miskin, kita dapat menemukan kemiskinan kita sendiri, kelemahan kita sendiri, keterpecahan kita sendiri dan kita tidak perlu takut akan semua itu. Kita akan menemukan diri kita, ”Ya, aku juga miskin”. Akan tetapi, kita dipanggil untuk tidak khawatir karena di mana kita juga miskin, ada suara yang berkata, ”Aku mengasihimu.” Kemudian komunitas itu menjadi persahabatan orang lemah, suatu tempat di mana kuasa rahmat Allah dapat menyatakan dirinya.
Jadi, kita perlu menjaga suatu ruang bagi suara Allah, ruang untuk berdoa sendiri, ruang untuk membangun komunitas tanpa rasa posesif, suatu ruang yang memungkinkan pelayanan timbal balik bersama orang-orang yang membutuhkan kita. Mereka memerlukan kita bukan hanya karena mereka perlu bantuan kita, tetapi juga memerlukan kita supaya mereka dapat memberikan berkat mereka kepada kita. Melalui mereka Allah benar-benar ingin kita mengeklaim kebenaran bahwa kita adalah anak-anak Allah terkasih.
Sumber: Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Foto: Istimewa