Diambil, Diberkati, Dipecah-pecah, Dibagikan

Pada waktu malam menjelang ditangkap, Yesus makan bersama dengan dua belas murid.  ”Lalu Ia mengambil roti,  mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikan kepada mereka, kata-Nya: ”Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk. 22:19).

Setelah bangkit dari antara orang mati, ada kesaksian Yesus  menemani perjalanan dua murid ke Emaus. “Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada  mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun  mengenali Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka” (Luk. 24:29b-31).

Peristiwa Yesus makan bersama itu bisa segera mengingatkan pada pelayanan sakramen perjamuan di gereja. Dalam sakramen perjamuan ada roti yang diambil, diberkati, dipecah-pecah, dan dibagikan.   Peran penting perjamuan kudus (ekaristi) dalam kaitan dengan hidup mistik kristiani disinggung oleh Martha E. Driscoll:  ”Mistik Kristiani berpuncak dalam ekaristi, misteri agung, di mana kita bersatu dalam sakramen kasih, dalam keterbukaan kepada Anugerah ilahi yang terus dicurahkan. Namun, misteri iman merangkul seluruh hidup dan eksistensi kristiani, bukan hanya saat-saat tertentu.”

Bagaimana perjamuan kudus  sebagai misteri iman merangkul seluruh hidup dan keberadaan kristiani kita sehari-hari? Hal ini terkait dengan bagaimana  kita menjadi anak-anak Allah yang terkasih. Dalam buku kecil Yang Terkasih,  Henri Nouwen mengajak kita meyakini ada empat kata yang merangkum hidup kita sebagai yang terkasih.  Empat kata ini lebih dulu merangkum hidup Yesus sebagai yang terkasih. Yesus adalah Dia yang diambil oleh Allah, yang diberkati oleh Allah, yang dipecah di kayu salib, dan dibagikan bagi dunia.

Seperti halnya empat kata itu merangkum hidup Yesus sebagai yang terkasih, hidup kita sebagai anak-anak Allah terkasih adalah hidup yang diambil, diberkati, dipecah, dan diberikan. Jika kita dapat menjalani hidup sebagai yang diambil, diberkati, dipecah dan diberikan, dunia akan mengenal Yesus di dalam diri kita dalam pemecahan roti, dalam pemecahan hidup kita.

Diri kita diambil. Apakah kita percaya bahwa Allah telah mengambil atau memilih kita? Kita dipilih Allah, artinya Allah telah melihat kita sejak dari keabadian sebagai yang berharga di mata-Nya, sebagai yang unik. Tidak ada orang lain yang serupa dengan diri kita. Tidak ada  orang lain yang sama persis dengan diri kita. Setiap kita adalah unik. Setiap orang mempunyai peran unik untuk dilakonkan dalam kisah Allah.  Banyak orang yang tidak memercayainya sama sekali. Banyak orang bahkan tidak mengira bahwa dirinya diterima di dunia ini, bahwa Allah berkata kepada setiap kita, ”Aku sudah melihatmu dari keabadian dalam keunikanmu. Engkaulah yang Kupilih, engkau spesial di mata-Ku.”

Kita perlu sadar, sebab ini bisa mengejutkan, jika kita percaya bahwa diri kita dipilih, tidak berarti yang lain tidak dipilih. Jika kita percaya bahwa diri kita terpilih, Allah memberi kita mata untuk melihat bahwa orang lain juga terpilih. Kita akan menemukan bahwa keterpilihan dan keunikan kita akan membuka ruang di hati kita tempat kita menyadari, ”Hai Saudaraku, engkau juga unik di mata Allah dan aku tidak mengambil apa pun dari keunikanmu.” Itulah kabar baiknya. Meski hal ini tidak mudah diklaim dalam dunia yang biasanya menyamakan manusia dengan angka atau statistik untuk menilai sebagai yang terpilih atau tidak.

Diri kita diberkati. Teberkatinya diri kita berarti Allah mengucapkan hal-hal yang baik tentang  kita. Setiap ibadah Minggu kita mendengar kata berkat. Kita diberkati ”dalam persekutuan dengan Allah Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Akan tetapi, bisa jadi ada yang merasa ”tidak berhasil” mendapat berkat dengan rumusan itu, khususnya anak kecil atau difabel. Mereka membutuhkan ungkapan yang lebih konkret dan  kalimat yang lebih sederhana yang menyatakan betapa baiknya mereka.  Misalnya dengan ungkapan yang mulai sering kita jumpai: ”Tuhan sayang kita semua!” atau ”Engkau dicintai Allah dan kami mengasihimu.”

Kita dipanggil untuk untuk mengeklaim berkat tersebut dan untuk memberkati orang lain. Ke mana pun kita pergi, itulah panggilan Kristiani kita untuk mengucapkan hal-hal baik kepada orang lain. Bukan memberi pujian, tetapi mengucapkan hal baik tentang mereka sebagai manusia, bahwa mereka dikasihi.

Akan tetapi, diri kita juga terpecah. Dan keterpecahan kita di dunia ini kebanyakan terjadi dalam relasi. Mungkin kita tidak miskin secara fisik atau ekonomi, namun miskin oleh adanya perpecahan dalam hati kita. Misalnya, suami dan istri tidak dapat saling berbicara baik. Anak dan orang tua merasa hubungan mereka renggang. Sahabat yang kita kira selalu ada bagi kita, tiba-tiba tidak menanggapi kebutuhan kita. Dan kita dapat merasa sengsara luar biasa dan luka batin yang dalam. Tampaknya penderitaan kita yang terbesar selalu terkait dengan terpecahnya  suatu hubungan. Kita semua pernah merasakan orang-orang tidak mengasihi kita dengan cara kita ingin dikasihi. Kita merasa ditolak, ditinggalkan, disalahpahami, dan dipinggirkan.

Apa yang  bisa kita lakukan dengan adanya keterpecahan di dalam hati itu? Pertama, kita diajak memiliki  keberanian untuk merangkul keterpecahan diri kita dan tidak menyangkalnya, untuk bersahabat dengan keterpecahan kita. Hingga kita bisa berkata, ”Ya, aku kesakitan dan aku tidak bertindak seolah-olah aku tidak kesakitan. Aku terluka dan berteriak. Aku kesakitan. Akan tetapi itulah keterpecahanku; dan oleh karena aku unik, aku mengeklaim kesakitanku yang unik.”

 Kita perlu memiliki keberanian untuk merangkul keterpecahan kita dan mengeklaimnya sebagai rasa sakit kita. Itulah yang dimaksud Yesus dengan panggulah salibmu. Yesus tidak berkata buatlah salib untuk orang-orang lain, atau ciptakanlah salib untuk dirimu sendiri. Dia hanya berkata, ”Rangkullah salibmu dan katakan bahwa itu milikmu.” Kita tidak akan pernah menjadi orang yang bahagia atau sukacita jika kita selalu menyangkal keterpecahan. Kita perlu  melihatnya dengan berhadapan muka dan tidak takut.

Kedua, mari kita letakan keterpecahan kita di bawah rahmat. Letakkan keterpecahan itu  di bawah rahmat yang mengatakan bahwa diri kita baik. Sebab jika kita tidak meletakkannya di  bawah rahmat itu, sama saja dengan  membiarkan diri kita berada di bawah kutukan,  ”Wah, aku bukan orang baik, sekarang lihat apa yang terjadi, aku kehilangan teman-temanku. Lihat apa terjadi, dia mengkhianatiku. Lihat apa yang terjadi, semuanya itu bukti bahwa aku tidak baik.”  Yesus memanggil kita untuk meletakkan di bawah rahmat, di bawah tangan-tangan yang berkata, ”Engkaulah anak yang Kukasihi dan kepadamu Aku berkenan.” 

Kita dapat meletakkan keterpecahan kita di bawah rahmat dan suatu hari kita akan dapat mengatakan kata-kata yang diucapkan oleh Yesus, ”Tidakkah engkau tahu bahwa kita harus menderita untuk dapat masuk dalam kemuliaan.” Ketika kita meletakkan keterpecahan kita di bawah rahmat, maka keterpecahan kita merupakan pemangkasan di mana kita akan dimurnikan dan dijadikan  semakin menguning seluruhnya demi Allah. Ini tidak mudah, tetapi itulah panggilan kita.

Dan yang terakhir, diri kita dibagikan. Diri kita diambil, diberkati, dipecah untuk diberikan kepada dunia. Kita tidak dilahirkan untuk diri kita sendiri, saya tidak dilahirkan untuk diri saya sendiri. Saya dilahirkan untuk orang lain, orang lain dilahirkan untuk saya, kita dilahirkan untuk satu sama lain dan untuk generasi yang akan datang. Kita dan hidup kecil kita tidak berakhir pada hari saat kita meninggal. Hidup kecil kita adalah rahmat bagi keluarga, bagi teman dan sahabat kita, dan lebih jauh lagi bagi orang-orang yang bahkan tidak pernah kita kenal.

Yesus tidak meminta kita untuk berhasil, tetapi meminta agar kita berbuah. Bagaimana  kita berbuah jika kita tidak mati?  Jika biji tidak mati maka tidak akan menghasilkan buah. Kita dengarkan Yesus yang berkata, ”Baik bagimu jika Aku pergi, karena ketika Aku pergi, Aku  akan mengutus Roh-Ku, rahmat-Ku, kasih-Ku, kedekakatan-Ku dan menuntunmu pada kepenuhan kebenaran, dan kesatuan penuh” (bdk. Yoh. 16:7).

Kita dipanggil untuk percaya bahwa hidup kita adalah hidup di mana kita dipanggil untuk memberikan diri kita lebih dan lebih lagi, tidak hanya sedikit, tetapi seluruh diri kita. Maka kita dapat menjadi makanan dan minuman bagi sesama. Ketika kita ikhlas mencurahkan  seluruh diri kita untuk sesama yang kita percayai, kita akan menghasilkan buah yang melimpah jauh melampaui kronologi hidup kecil kita yang singkat. Kematian fisik kita dapat berbuah bagi generasi-generasi mendatang. Siapa saja yang hidup seperti Yesus, sebagai anak Allah yang terkasih, boleh yakin bahwa hidupnya akan menghasilkan buah sepanjang zaman yang akan datang. Dan generasi mendatang akan menyebut kita sebagai yang terberkati. Setiap pemberian kecil  yang kita lakukan sudah menjadi bagian dalam diri kita berbuah sebagai yang terkasih.

Jadi hidup kita diambil atau dipilih,  diberkati, dipecah-pecah, dan dibagikan. Di penghujung hari, sebelum tidur, baik kita melihat kembali hidup  kita dan katakan di mana aku dipilih, di mana aku diberkati, di mana aku dipecah lagi, di mana aku dibagikan. Setiap kali kita mengenalinya, kita mengenali kehadiran Allah di dalam hati kita, kehadiran Roh Yesus pada pusat keberadaan kita. Dan kita tahu bahwa kita adalah anak Allah yang terkasih. Dan kemudian kita dapat menjalani hidup yang bebas, bebas untuk mengasihi.

Sumber: Tangan Terbuka Media

0:00
0:00