Berpaut pada Cinta Pertama

Dalam hidup sehari-hari, kita dihadapkan pada pilihan ingin menjadi relevan atau memilih  bertaut pada pengenalan akan cinta pertama Allah. Berkait kedua hal itu, ada sebuah buku kecil Henri Nouwen yang berisi materi untuk retret, judulnya: Yang Terkasih. Buku itu bisa membantu kita mengenali perbedaan  kedua pilihan itu.

Sampai berapa pun usia kita hidup di dunia ini, yang kita jalani adalah kehidupan yang singkat dan cepat. Dan ada sebuah pertanyaan untuk kita semua, ”Siapakah aku?” Pertanyaan tersebut akan terus bergema. Sebab, apa yang kita lakukan sepanjang hidup kita adalah untuk menjawab pertanyaan itu. 

Atas pertanyaan ”Siapakah aku?”, jawaban yang biasa kita sampaikan adalah pertama, ”Aku adalah apa yang aku lakukan.” Ketika melakukan hal-hal yang baik—dan sedikit berhasil dalam hidup—kita marasa nyaman dengan diri kita. Ketika kita gagal, kita menjadi putus asa dan tertekan. Ketika kita bertambah tua, kita mungkin berkata, ”Aku tidak bisa berbuat banyak,  tetapi lihat aku sudah melakukan banyak hal baik dalam hidupku, lihat hasil karyaku, lihat anak-anak yang sudah aku didik. Lihat, lihat, lihat aku melakukan sesuatu yang baik.”

Kedua, ”Aku adalah apa yang dikatakan orang lain tentang aku.” Jika orang lain berkata baik tentang diri kita, kita bisa berjalan kian kemari dengan bebas. Namun, ketika seseorang mulai menggunjingkan kita—atau seseorang mengatakan hal-hal negatif tentang diri kita—mungkin kita tiba-tiba merasa sangat sedih. Sepertinya jika seseorang berkata sesuatu yang melawan diri kita, perkataan itu dapat mengiris hati kita.

Ketiga, ”Aku adalah apa yang aku punya.” Bisa jadi kita saat ini punya keluarga yang baik, punya rumah yang baik,  punya teman-teman kerja yang baik, dan banyak hal lain yang kita anggap baik. Akan tetapi, begitu kita mulai kehilangan salah  satunya, jika seorang anggota keluarga meninggal,  rumah hilang,  atau kehilangan benda-benda yang kita miliki, kita tergelincir ke dalam kegelapan batin.

Banyak energi yang kita curahkan sehubungan anggapan ”Aku adalah apa yang aku lakukan. Aku adalah apa yang orang lain katakan. Aku adalah apa yang aku miliki.” Hidup yang kita jalani menjadi seperti grafik naik-turun, tidak stabil. Ketika diri kita melakukan banyak hal baik, ketika orang berbicara baik tentang kita, ketika kita punya banyak hal baik, kita merasa berada di puncak, grafik kita di atas, dan hidup kita bergairah. Namun, ketika kita menyadari sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, ketika orang-orang mulai berbicara melawan diri kita, ketika akhirnya kita kehilangan teman-teman, mungkin kita menjadi depresi dan grafik kita berada di titik rendah.

Sebagian besar usaha dan mental kita adalah berusaha agar grafik kita tetap berada  di atas. Kita menyebutnya sebagai bertahan hidup. Kita ingin tetap berpegang pada nama baik, berpegang pada keuntungan atau kemajuan, tetap berpegang pada pengaruh atau benda-benda yang kita miliki. Inilah yang disebut dengan keinginan untuk menjadi relevan.

Hidup yang diliputi keinganan untuk menjadi relevan akan berakhir sia-sia. Kalaupun kita menjalani hidup dengan baik—dengan semua naik turunnya grafik kehidupan kita—pada akhirnya adalah kematian. Ketika kita mati, yang ada adalah kita mati. Tidak ada orang yang membicarakan kita lagi, kita tidak memiliki apa-apa lagi, kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi, kita kehilangan semuanya. Dan hidup kita yang singkat ini berakhir sia-sia, menguap begitu saja.  

Anggapan ”Aku adalah apa yang aku lakukan. Aku adalah apa yang orang lain katakan. Aku adalah apa yang aku miliki” adalah salah. Ini bukanlah diri kita yang sejati. Semua itu adalah perkataan  yang diucapkan Iblis ketika mencobai Yesus di padang gurun.

Iblis berkata, ”Ubahlah batu ini menjadi roti dan tunjukkanlah bahwa Engkau dapat melakukan sesuatu. Lompatlah dari bait Allah supaya orang-orang menatang-Mu dan orang-orang akan berbicara baik tentang Engkau. Berlututlah di hadapanku dan aku akan memberikan semua kerajaan dunia beserta kemegahannya. Maka Engkau kemudian akan dikasihi, karena Engkau melakukan sesuatu, orang-orang berbicara  baik tentang Engkau dan Engkau memiliki sesuatu, dan setiap orang akan mencintai-Mu” (bdk. Mat. 4:1-11).

Atas godaan-godaan Iblis itu, bisa dibayangkan Yesus berkata, “Bohong! Semua itu adalah kebohongan yang membuat engkau dan Aku masuk dalam relasi kekerasan dan kehancuran. Karena Aku tahu siapa Aku. Aku tahu siapa diri-Ku. Karena sebelum Roh Kudus mengutus Aku, Roh Kudus datang kepada-Ku dan berkata, ’Engkaulah anak yang dikasihi, engkaulah anak yang Kukasihi, dan kepadamu Aku berkenan” (bdk. Mat. 3:17).

Yesus mendengar suara itu. ”Engkaulah anak yang dikasihi,  dan kepadamulah Aku berkenan.” Dan kepada suara itulah  Yesus berpegang saat Dia menjalani hidup-Nya. Ada orang yang memuji Dia, ada orang yang menolak Dia. Ada orang berteriak hosana, dan ada orang menyalibkan Dia.  Namun, Yesus berpegang pada satu pilihan bahwa apa pun  yang terjadi, ”Aku adalah yang dikasihi Allah.” Inilah juga diri kita. ”Saya dan Anda adalah  yang terkasih”  bukan karena orang berkata bahwa kita adalah luar biasa. Namun, karena diri kita adalah yang terkasih sebelum kita dilahirkan.   

Kita perlu mendengar, apa yang dikatakan kepada Yesus itu dikatakan kepada kita juga. Kita harus mendengar bahwa kita adalah anak-anak Allah yang terkasih. Kita harus mendengarkannya bukan dari pikiran melainkan dari hati. Kita perlu mendengarkannya, sehingga seluruh hidup kita dapat diubah. Dengarkan juga kekayaan kesaksian Kitab Suci, ”Aku mengasihi engkau dengan kasih abadi. Aku mengukir namamu di telapak tangan-Ku dari keabadian. Aku telah membentuk engkau dari debu tanah. Aku membentuk engkau di dalam kandungan ibumu. Aku mengasihimu. Aku memelukmu. Aku milikmu dan engkau milik-Ku.”

Kita harus mendengar suara itu, suara yang berbicara kepada kita dari keabadian ke keabadian.  Jika kita dapat mendengar suara itu, hidup  kita akan semakin menjadi hidup orang yang dikasihi. Karena itulah siapa diri kita yang sesungguhnya. Kemudian kita akan mulai percaya bahwa lingkaran kebenaran ini akan semakin besar sampai akhirnya masuk dalam hidup keseharian anda.

Kita akan tetap mengalami penolakan, kita akan tetap mendengar pujian, kita akan tetap mengalami kehilangan. Akan tetapi, kita menjalaninya bukan sebagai pribadi yang sedang mencari identitas diri, melainkan kita menjalaninya sebagai orang yang dikasihi. Kita akan mengasihi rasa takut kita, kita akan menjalani penderitaan kita, kita akan menjalani sukses kita, kita akan menjalani kegagalan kita sebagai orang yang mengenal siapa diri kita sebenarnya.

Suara yang memanggil kita sebagai yang terkasih adalah suara cinta pertama. Yohanes menulis: ”kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (lih. Yoh. 15:12). Dan perjuangan yang besar dan tidak mudah adalah untuk mengeklaim cinta pertama tersebut. Kita dikasihi sebelum ayah kita, ibu kita, saudara kita, pacar atau pasangan kita, guru kita mengasihi kita. Orang yang mengasihi kita, tidak selalu mengasihi kita dengan baik. Orang yang memperhatikan atau merawat kita juga melukai kita.

Bagaimana kita menghidupi kebenaran bahwa di dunia ini kasih dan luka tidak pernah dapat dipisahkan? Kita dapat menghidupinya hanya jika kita selalu bertaut pada cinta pertama tersebut, sehingga kita dapat memaafkan mereka yang mengasihi kita dengan buruk. Dan juga supaya kita dapat mengenali bahwa di dalam kasih yang benar-benar kita terima, ada sebuah petunjuk atau kilasan cinta pertama tesebut.

Setiap kali kita mendapat godaan untuk menjadi getir, untuk iri hati, untuk menyerang, untuk mencaci maki, untuk merasa ditolak, dapatkah kita berbalik dan mengatakan: ”Tidak, aku adalah anak Allah yang dikasihi”? Dan meskipun kita ditolak, penolakan itu seharusnya bagi kita menjadi sebuah jalan untuk mengeklaim kembali kebenaran cinta pertama tersebut dengan lebih dalam dan lebih utuh.

Sumber: Tangan Terbuka Media

0:00
0:00